HUBUNGAN
ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH
Hubungan antara pusat dan daerah merupakan sesuatu yang
banyak diperbincangkan, karena masalah tersebut dalam prakteknya sering
menimbulkan upaya tarik-menarik kepentingan (spanning of interest) antara kedua
satuan pemerintahan . Terlebih dalam negara kesatuan, upaya pemerintah pusat
untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan pemerintahan sangat jelas
sekali. Alasan menjaga kesatuan dan integritas negara merupakan salah satu
alasan pemerintah pusat untuk senantiasa mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan
dengan mengesampingkan peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat
langsung dan mandiri dalam rangka mengelola serta memperjuangkan kepentingan
daerahnya. Dominasi pemerintah pusat atas urusan-urusan pemerintahan telah
mengakibatkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam negara kesatuan
(eenheidstaat) menjadi tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang
mengkhawatirkan sehingga timbul gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi
negara federal. Dengan perktaan lain, gagasan negara federal atau negara
serikat dapat dipicu oleh sentralisasi pemerintahan yang dianggap berlebihan (a
highly centralized government), di samping terdapat sebab lain seperti hubungan
keuangan antara pusat dan daerah yang dianggap kurang adil (soal prosentase)
yang merugikan daerah.
Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak
ada empat faktor yang menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu
hubungan kewenangan, hubungan keuangan,hubungan pengawasan,dan hubungan yang
timbul dari susunan organisasi pemerintahan di daerah.
1. Hubungan
Kewenangan
Kewenangan berasal dari kata dasar “wewenang” yang dalam
bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan
hak untuk berbuat atau tidak berbuat.Atau kekuasaan adalah kemampuan untuk
melaksanakan kehendak. Dalam hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban
(rechten en plichten). Dalam kaitannya dengan otonomi daerah,hak mengandung
pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (selfregelen) dan mengelola sendiri
(self besturen). Sedangkan kewajiban mempunyai dua pengertian yakni horizontal
dan vertikal. Secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan
pemerintahan sebagaimana mestinya. Dan wewenang dalam pengertian vertikal
berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan
pemerintah negara secara keseluruhan.
Desentralisasi yang dianut dalam konsep negara kesatuan
pada akhirnya juga akan mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah , khususnya yang berkaitan dengan distribusi kewenangan pengaturan atas
urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu, adanya satuan pemerintahan yang
berlapis-lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain adalah untuk mencegah
dominasi kewenangan pemerintah yang lebih tinggi. Dalam negara kesatuan , semua
kekuasaan pemerintahan ada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat dapat
mendelegasikan kekuasaannya kepada unit-unit konstituen tetapi apa yang
didelegasikan itu mungkin juga ditarik kembali.
Sejalan dengan pendapat tersebut, wolhof juga menyatakan bahwa dalam negara
kesatuan pada asasnya kekuasaan seluruhnya dimiliki oleh pemerintah pusat.
Artinya, peraturan-peraturan pemerintah pusatlah yang menentukan bentuk dan
susunan pemerintahan daerah otonom, termasuk macam dan luasnya otonomi menurut
inisiatifnya sendiri. Daerah otonom juga turut mengatur dan mengurus hal-hal
sentral (medebewind) ,pemerintah pusat tetap mengendalikan kekuasaan pengawasan
terhadap daerah-daerah otonom tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh Clarke dan Stewart ,
mereka melihat bahwa terdapat tiga model hubungan kewenangan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah, yaitu model otonomi relatif, model agen, model
interaksi. Model relatif, model ini memberikan kebebasan kepada pemerintah
daerah , dan pada saat yang sama tidak mengingkari realitas negara bangsa.
Penekanannya adalah dengan memberikan kebebasan bertindak pada pemerintah
daerah dalam kerangka kerja kekuasaan dan kewajiban yang telah ditentukan.
Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah oleh karenannya ditentukan oleh
perundang-undangan.Pengawasan dibatasi. Pemerintah daerah meningkatkan
kebanyakan dari penghasilannya melalui pajak langsung. Dalam model otonomi
relatif pemerintah daerah dapat membuat kebijakan yang dibagi dengan pemerintah
pusat atau yang berada dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Model Agensi, ini adalah model pemerintahan daerah yang
dilihat terutama sebagai agen pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini
diyakinkan melalui spesifikasi yang terperinci dalam peraturan,perkembangan
peraturan dan pengawasan.
Model Interaksi, dalam model ini sulit ditentukan ruang lingkup kegiatan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah , karena mereka terlibat dalam pola
hubungan yang rumit, yang penekanannya ada pada pengaruh yang menguntungkan
saja.
Hubungan kewenangan, antara lain bertalian dengan cara
pembagian urusanpenyelenggaraan pemerintahan atau cara menetukan urusan rumah
tangga daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi
terbatas atau otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila:
Pertama; urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara katagoris dan
pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula. Kedua; apabila sistem
supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa , sehingga daerah otonom
kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan
mengurus rumah tangga daerahnya.Ketiga; sistem hubungan keuangan antara pusat
dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan
asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.
Berikut kewenangan/urusan daerah menurut Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah : Pasal 7 ayat (1) :
(1) Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,pertahanan
keamanan,peradilan,moneter dan fiskal,agama, serta kewenangan bidang lain.
(2)
Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan
tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara
makro, dana perimbangan keuangan,sistem administrasi negara dan lembaga
perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia,
pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi,
dan standardisasi nasional.
Sedangkan kewenangan/urusandaerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah : Pasal 10 ayat (1) :
(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusn pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini
ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi : a. politik luar negeri ; b. pertahanan; c. keamanan;
d. yustisi ; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama
Dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam melakukan pendistribusian kewenangan
antara pemerintah pusat dengan daerah, membedakan urusan yang bersifat
concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau
bidang tertentu dapat dilakukan bersama antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurrent
senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan ada
bagian urusan yang diserahkan kepada provinsi dan juga ada urusan pemerintahan
yang diserahkan kepada kabupaten/kota.
2.
Hubungan Pengawasan
Pengertian
pengawasan oleh Bagir Manan yaitu “Pengawasan (toezicht,supervision) adalah
suatu bentuk hubungan dengan legal entity yang mandiri, bukan hubungan internal
dari entitas yang sama. Bentuk dan isi pengawasan dilakukan semata-mata menurut
atau berdasarkan ketentuan undang-undang. Hubungan pengawasan hanya dilakukan
terhadap hal yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang . Pengawasan
tidak berlaku atau tidak diterapkan terhadap hal yang tidak ditentukan atau
berdasarkan undang-undang.[29]
Sistem pengawasan juga menentukan kemandirian satuan otonomi. Untuk menghindari
agar pengawasan tidak melemahkan otonomi, maka sistem pengawasan ditentukan
secara spesifik baik lingkup maupun tata cara pelaksanaannya. Karena itu
hal-hal seperti memberlakukan prinsip “pengawasan umum” pada satuan otonomi
dapat mempengaruhi dan membatasi kemandirian daerah. Makin banyak dan intensif
pengawasan makin sempit kemandirian makin terbatas otonom.
Sebaliknya,tidak
boleh ada sistem otonomi yang sama sekali meniadakan pengawasan. Kebebasan
berotonomi dan pengawasan merupakan dua sisi dari satu lembaran dalam
berotonomi untuk menjaga keseimbangan bandul antara kecenderungan
desentralisasi dan sentralisasi yang dapat berayun berlebihan.[30]
Macam atau jenis pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sungguh
sangat beragam, tergantung sudut pandang mana yang digunakan. Demikian halnya,
lembaga atau institusi yang melakukan pengawasan, maka tidak mustahil akan
terjadi tumpang tindih atau tidak berkaburan dalam peran dan fungsi pengawasan
di lapangan. Berikut ini klasifikasi macam ruang lingkup pengawasan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah :
a)
Pengawasan dari segi Institusi (Lembaga)
Ada dua
macam pengawasan pada segi ini, yaitu pengawasan internal dan pengawasan
eksternal. Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam
organisasi pemerintah itu sendiri. Contoh : Inspektorat Wilayah Propinsi,
Inspektorat Wilayah Kabupaten, Inspektorat Wilayah Kota.
Pengawasan eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawas
yang sama sekali berada di luar organisasi atau birokrasi pemerintah. Contoh :
Pengawasan aspek politik oleh DPR-DPRD, Pengawasan aspek keuangan oleh BPK,
Pengawasan aspek hukum oleh lembaga Peradilan, Pengawasan aspek sosial oleh
Institusi Pers,Organisasi kemasyarakatan,LSM dll, Pengawasan aspek etik oleh
Komisi Ombudsman Nasional.
b) Pengawasan dari segi substansi atau
objek yang diawasi Dari segi substansi maupun objeknya , pengawasan dapat
dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung
dilakukan secara pribadi oleh pemimpin atau pengawas dengan
mengamati,meneliti,memeriksa,mengecek sendiri secara “on the spot” ditempat
pekerjaan terhadap objek yang diawasi. Jenis pengawasan semacam ini sering
disebut pula dengan sidak. Sedang pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari
laporan-laporan yang diterima baik lisan maupun tertulis, mempelajari masukan
masyarakat dan sebagainya tanpa terjun langsung di lapang.
Objek yang
diawasi dalam jenis pengawasan ini adalah pengawasan terhadap semua urusan
pemerintahan (daerah) yang telah menjadi kewenangannya. Misal berdasar UU Nomor
32 Tahun 2004 adalah pengawasan pada bidang lingkungan
hidup,pariwisata,pendidikan,kesehatan,pemerintahan dsb. Sifat pengawasannya
bisa menyangkut soal administratifnya, dari segi legalitas hukumnya, maupun
dari pertimbangan kemanfaatannya.
b)
Pengawasan dari Segi Waktu. Pengawasan dari segi waktu
dapat dibedakan ke dalam pengawasan preventif (kontrol a-priori) dan pengawasan
represif (kontrol a-posteriori). Pengawasan preventif adalah pengawasan yang
dilakukan sebelum pelaksanaan (masih bersifat rencana) atau sebelum
dikeluarkannya kebijakan pemerintah (baik berupa peraturan maupun ketetapan).
Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan
dilaksanakan atau setelah peraturan atau ketetapan pemerintah dikeluarkan.
c)
Pengawasan Lintas Sektoral
Pengawasan Lintas sektoral adalah pengawasan yang dilakukan secara bersama-sama
oleh dua atau lebih perangkat pengawasan terhadap program-program dan kegiatan
pembangunan yang bersifat multi sektoral yang menjadi tanggungjawab semua
departemen atau lembaga yang terlibat dalam program atau kegiatan tersebut.
3.
Hubungan Keuangan
Hubungan
keuangan pusat dan daerah dilakukan sejalan dengan prinsip Perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana yang telah digariskan
dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.
Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah merupakan
subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah
dan pemerintah daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan
daerah merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem keuangan
negara dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan atas kewenangan
pemerintahan yang diserahkan, dilimpahkan,dan ditugasbantukan kepada daerah.
Hubungan
keuangan pusat dan daerah dalam rangka otonomi daerah dilakukan dengan
memberikan kebebasan kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan.
UU Nomor 33 Tahun 2004 telah menetapkan dasar-dasar pendanaan pemerintahan
daerah sebagai berikut. Sesuai dengan pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2004,
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi didanai APBD. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang
dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai APBN.
Berikut beberapa hal yang diatur dalam Perimbangan keuangan pusat dan daerah :
1. Pajak Daerah Adalah, iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. 2.
Retribusi Daerah
Adalah, pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu
yang khusus disesiakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau badan. 3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Adalah, pajak yang dikenakan atas bumi dan atau bangunan. Pembagian hasilnya
dibagi dengan imbalan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk daerah. Dibagi dengan
rincian sebagai berikut : 1. 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan 2.
64,8% untuk kabupaten/kota yang bersangkutan 3. 9% untuk biaya pemungutan
Selanjutnya 10% penerimaan PBB sebagai bagian pemerintah pusat.
Alokasi untuk kabupaten dan kota sebesar 10% bagian pemerintah pusat di atas
dibagi dengan rincian sebagai berikut. 1. 6,5% dibagikan secara merata kepada
seluruh kabupaten dan kota. Pembagian ini
dimaksudkan dalam rangka pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. 2. 3,5%
dibagikan secara intensif kepada kabupaten/kota 4. Dana Alokasi Umum (DAU)
Adalah,dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU dialokasikan untuk
provinsi,kabupaten/kota. Misal: Pendidikan,Kesehatan,Irigasi,Jalan dan prasarana
umum,Pertanian,Kelautan dll. 5. Dana Alokasi Khusus
Adalah, dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.Misal: Bidang kesehatan,Bidang Pendidikan,Bidang
Infrastruktur. d. Hubungan Pusat dan Daerah Serta Susunan Organisasi
Pemerintahan
di Daerah Banyaknya kantor-kantor pusat di daerah sangat mempengaruhi
kemandirian otonomi. Pembentukan kantor pusat di daerah (Kanwil/Kandep)
berkembang pesat selama UU Nomor 5 Tahun 1974 berlaku. Kantor-kantor ini menimbulkan
dualism pemerintahan di daerah. Selain itu pemerintahan menjadi tidak efisien
karena trelalu banyak koordinasi yang harus dilakukan. Apalagi diadakan pula
urusan pusat dalam lingkungan satuan pemerintahan otonomi,seperti direktorat
sosial politik di propinsi,kabupaten,dan kota. Kepala daerah merangkap sebagai
kepala wilayah. Untuk lebih menjamin kemandirian daerah,kantor-kantor pusat di
daerah dapat di serahkan pelaksanaannya kepada satuan pemerintahan otonomi
melalui tugas pembantuan.
Namun pada
saat itu dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 penghapusan Kanwil/Kandep
merupakan suatu kemestian,karena semua fungsinya menjadi urusan rumah tangga
daerah. Tetapi tidak berarti setiap Kanwil atau Kandep akan menjadi dinas
daerah. Pada tingkat propinsi,pada dasarnya Kanwil mesti dibubarkan mengingat
berbagai urusan tersebut menjadi urusan kabupaten atau kota, bukan urusan
propinsi. Di tingkat kabupaten atau kota, mungkin dibentuk dinas baru ,
digabung atau dihapus. Semuanya diukur dari efisiensi dan produktifitas
organisasi agar fungsi pelayanan terhadap masyarakat dapat terlaksana dengan
baik.
C.3 Problematika Hubungan Pusat dan Daerah di Era Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah bukannya meningkatkannya kesejahteraan masyarakat
dari segi ekonomi (finansal) dan pelayanan publik tapi sebaliknya wabah korupsi
yang merajai hampir sebagian besar pemerintah daerah. Korupsi menjadi sisi
gelap dari pelaksanaan otonomi daerah selama beberapa tahun perjalanannya .
Hebatnya korupsi di daerah dilakukan secara serentak dan bersama-sama yang
melibatkan hampir semua elit local dengan menggerogoti APBD,DAU,DAK. Korupsi
telah menghancurkan ekspektasi masyarakat yang begitu besar terhadap otonomi
daerah yang bisa melahirkan berkah bukan musibah.
Sepanjang pelaksanaan otonomi daerah sampai penghujung tahun 2010 kasus-kasus
korupsi serentak mewarnai perjalanan otonomi daerah . Dalam Tahun 2004-2010 ada
sebanyak 147 kepala daerah tersangkut kasus korupsi , 18 gubernur,17 walikota,
84 Bupati,1 Wakil Gubernur , 19 wakil bupati. Dengan estimasi total kerugian
negara mencapai Rp.4.814.248.597.729.[33] Hal ini membuktikan lemahnya fungsi
pengawasan dan etika dari para elit di daerah.
Demikian juga dengan daerah pemekaran sebagai buah dari otonomi daerah tidak
mampu mensejahterakan masyarakat. Hampir semua daerah pemekaran boleh dikatakan
stagnan dalam menjalankan roda pemerintahan. Tidak ada sesuatu yang berubah
pasca pemekaran. Bahkan ada daerah pemekaran yang telah berusia lebih lima
tahun tidak mampu berdiri sendiri dan masih terus disusui pemerintah pusat
lewat APBN.
Ironinya kondisi pengawasan daerah saat ini masih adanya tumpang-tindih
pelaksanaan pengawasan dari unsur internal maupun eksternal. Selain itu akses
terhadap pengawasan sosial terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah , belum
memiliki prosedur baku, dikaitkan dengan sistem kerahasiaan dokumen negara.
Selain itu, tindak lanjut pengawasan oleh pemerintah daerah yang belum
transparan, termasuk belum terdapatnya , pengaturan terhadap pemberian sanksi
kepada pemerintahan daerah melakukan kesalahan terhadap masyarakat dalam
melakukan pelayanan publik.
Apalagi sistem koordinasi pengawasan antara aparatur , pengawasan,belum
sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan pengawasan yang dikehendaki masyarakat.
Dengan melihat permasalahan dan sasaran pengawasan yang ingin dibangun maka
diperlukan strategi penyusunan sistem perencanaan pengawasan yang
terintegrasikan antara pengawasan eksternal dan internal , penegakan sanksi
yang tegas terhadap pelanggaran penyelenggaraan pemerintahan, penyusunan
regulasi pengawasan instansi pemerintahan daerah ,penyusunan regulasi tentang
memperoleh informasi pemerintahan oleh publik.
D.
KESIMPULAN
1.
Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat kita lihat dalam 3 proses
menurut
bagir manan disebut dengan proses bukan sebagai asas diantaranya
sentralisasi,desentralisasi,tugas pembantuan, kaitannya dengan otonomi dalam
kepustakaan dibagi menjadi 3 yaitu otonomi formil, otonomi materiil dan otonomi
riil.
2. Dari bentuk-bentuk utama pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan,
akan
dijumpai paling kurang tiga bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Pertama ,
hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua,
hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan
pusat dan daerah menurut dasar federal.
3. Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang
menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan,
hubungan keuangan,hubungan pengawasan,dan hubungan yang timbul dari susunan
organisasi pemerintahan di daerah.
4. Pelaksanaan otonomi daerah bukannya meningkatkannya kesejahteraan masyarakat
dari
segi ekonomi (finansal) dan pelayanan publik tapi sebaliknya wabah korupsi yang
merajai hampir sebagian besar pemerintah daerah. Korupsi menjadi sisi gelap
dari pelaksanaan otonomi daerah selama beberapa tahun perjalanannya . Hebatnya
korupsi di daerah dilakukan secara serentak dan bersama-sama yang melibatkan
hampir semua elit local dengan menggerogoti APBD,DAU,DAK. Korupsi telah
menghancurkan ekspektasi masyarakat yang begitu besar terhadap otonomi daerah
yang bisa melahirkan berkah bukan musibah.